bacajuga
Oleh
Vredighrichal
Gurahman
Pengendalian
hayati merupakan suatu teknik pengendalian dengan menurunkan populasi hama
melalui kinerja musuh alaminya. Harry Smith, Universitas California
mendefinisikan bahwa penurunan populasi serangga disebabkan karena aksi dari
musuh alaminya. Dalam buku Purnomo (2010) dijelaskan tentang perbedaan antara
pengendalian hayati dan pengendalian secara alami. Perbedaan jenis kedua
pengendalian itu adalah pada organisme sasaranya. Jika penurunan populasi suatu
organisme non-serangga akibat aksi dari musuh alaminya maka disebut sebagai
pengendalian alami. Jika penurunan populasi organisme hama akibat aksi dari
musuh alaminya maka disebut sebagai pengendalian hayati.
Purnomo
(2010), Terdapat tiga dasar pendekatan pengendalian hayati yaitu:
1.
Konservasi dan Peningkatan Musuh alami.
Semua
input dan output agroekosistem akan berdampak pada populasi musuh alami. Oleh
karena itu perlu dilakukan kegiatan konservasi dan peningkatan populasi musuh
alami (Parasitoid, Predator, dan pathogen). salah satu bentuk kegiatan
konservasi musuh alami adalah dengan mengurangi penggunaan pestisida, sebab
pestisida dapat membunuh musuh alami yang ada di ekosistem. Selain itu juga,
bentuk peningkatan musuh alami dengan menanam tanaman refugia di areal
pertanaman dapat meningkatkan populasi musuh alami.
2.
Augmentasi
kegiatan
selanjutnya adalah augmentasi. Augmentasi merupakan kegiatan perbanyakan musuh
alami yang diakukan diluar ekosistem aslinya. Artinya bahwa pembiakan musuh
alami akan dilakukan di laboratorium atau tempat pembikan massal. Bentuk
kegiatan itu bertujuan untuk mengakselerasi populasi musuh alami jika
konservasi dan peningkatan yang alamiah tidak mampu menekan populasi.
3.
Introduksi Musuh Alami
kegiatan
ini merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mendatangkan musuh alami dari
suatu tempat ke tempat yang baru. Kegiatan ini dilakukan jika musuh alami yang
ada di tempat tersebut tidak mampu menekan populasi hama. Introduksi umunya
dilakukan pada jenis-jenis hama eksotik atau invasif.
Musuh
alami berupa parasitoid merupakan jenis musuh alami yang menyelesaikan salah
satu fase hidupnya dalam tubuh serangga dengan menghisap cairan tubuh inangnya.
Akibanya, tubuh serangga yang telah terparasit akan mengalami gangguan metabolisme
dan berujung pada kematian (Mahrub, 1987). Populasi parasitoid yang ada di
agroekosistem akan bergantung pada keberadaan populasi hama sebagai inangya (density dependent mortality factor).
Proses yang terjadi antara parasitoid dan inangnya akan membentuk simbiosis
parasitisme atau satu pihak diuntungkan dan pihak lain dirugikan.
Berdasrkan
jenis inang parasitoid, Maka dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1.
Inang infinitif
Inang
infinitif adalah inang spesifik yang telah diketahui oleh parasitoid sebagai
inangnya. Contoh Parasitoid telur Trichogramma
spp. yang hanya akan meletakkan telurnya pada inang-nang spesifik seperti Telur
Corcyra sp., Telur Chilo saccarifagus, dan Telur Scirpophaga innotata.
2.
Inang Intermediet
Inang
intermediet adalah jenis inang yang hanya digunakan oleh parasitoid pra-dewasa
yang oleh parasitoid dewasa tidak diperhatikan jenis spesifik inangnya. Contoh
parasitoid jenis ini adalah lalat jatiroto (Diatraeophaga
striatalis).
Purnomo
(2010), Berdasarkan cara menyerangnya dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1.
Parasitoid Soliter
Artinya
satu jenis parasitoid akan meletakkan telurnya pada banyak tubuh inang.
Sehingga untuk satu inang hanya akan terparasit sebanyak satu ekor saja.
Parasitoid jenis ini akan membutuhkan banyak inang untuk meletakkan telur,
sehingga jenis ini adalah yang paling efektif menekan populasi hama.
2.
Parasitoid gregorius
Parasitoid
jenis ini akan meletakkan kelompok telurnya hanya pada satu inang saja. Artinya
sejumlah telur akan disuntikkan melalui ovipistornya kedalam tubuh serangga
inangnya.
Berdasarkan
fase inang yang diserang dibedakan menjadi Parasitoid Telur, Parasitoid Larva,
Prasitoid Pupa dan Parasitoid Imago.
1.
Salah satu contoh jenis parasitoid Telur adalah Trichogramma spp. Menurut Borror (1992), Serangga ini di klasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Fillum : Arthopoda
Class : Insekta
Ordo : Hymenoptera
Family : Trichogrammatidae
Genus
: Trichogramma
Spesies : Trichogramma spp.
Gambar 1. Imago Trichogramma sedang oviposisi
Sumber: gerbangpertanian
Larva Trichogramma terdiri
dari tiga instar. Setelah mencapai
instar 3 (3-4 hari setelah telur terparasit), telur penggerek batang berubah
warnanya menjadi gelap atau hitam. Larva
kemudian berkembang menjadi pupa. Setelah
4-5 hari, pupa berubah menjadi imago, dan keluar dari telur inang dengan
membuat lubang bulat pada kulit telur. Daur
hidup sejak telur diletakkan hingga imago muncul sekitar 8 hari. Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 50 butir, yang di
suntikkan pada telur penggerek padi dan tebu, telur yang di infeksikan ke dalam
tubuh penggerek akan memakan masa sel dan cairan yang ada di dalam tubuh
inangnya (Burhanudin, 2004).
Trichogramma spp. mampu menghasilkan keturunan tanpa melalui proses perkawinan terlebih dahulu (Partenogenesis). Imago betina yang melakukan perkawinan akan menghasilkan keturunan jantan dan betina, sedangkan imago yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan keturunan jantan saja (Burhanudin, 2004). Imago betina akan meletakkan telurnya dengan menggunakan embelan berupa ovipositor. PParasitoid ini termasuk kedalam parasitoid jenis gregorius, sebab imago akan meletakkan satu atau lebih telurnya pada satu telur inang. Daya predasi parasitoid ini dapat mencapi 40% dengan populasi bergantung dengan populasi inang (Darmadi, 2008).
2. Parasitoid Larva
Salahsatu contoh parasitoid larva adalah Apanteles flavipes. Menurut Borror (1992), Apanteles flavipes diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Family : Microgastrinae
Genus : Apanteles
Spesies : Apanteles flavipes Cam.
Gambar 2. Imago Apanteles
Panjang tubuh
Apanteles flavipes ± 2,0-2,5 mm dengan ciri serangga betina mempunyai ukuran
tubuh lebih pendek dan ovipositor yang berfungsi menginjeksikan telur ke tubuh
larva hama penggerek batang. Telur Apanteles flavipes berukuran 0.3
mm berbentuk elongate dan transparan. Telur akan menetas 3 hari
setelah terjadina oviposisi.
Apanteles flavipes adalah parasitoid larva. Walaupun secara umum mempunyai tingkat parasitasi yang rendah, parasitoid tersebut mengalami peningkatan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kematian inang. Pada tahun 1996 diamati bahwa 54% larva kecil terparasit, 9,4% persentase parasitasi pada larva berukuran sedang dan 19.8 % larva yang berukuran besar terparasit A. flavipes (Ganeshan dan Rajablee, 1997). Simanjuntak (2013), bahwa semakin tua umur parasitoid maka kemampuannya untuk mamparasiti inang akan semakin menurun. Parasitoid ini hanya akan meletakkan telur selama 5 kali dan akhirnya akan mati.
3. Parasitoid Pupa
Salah satu contoh parasitoid pupa adalah Tetrastichus sp. Menurut Borror (1992), Tetrastichus sp. diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Family : Eulophidae
Genus :
Tetrastichus
Spesies : Tetrastichus sp.
Gambar 3. Imago Tertastichus
Sumber: http://www.fao.org/docrep/010/ag117e/AG117E04.htm
Tetrastichus sp. merupakan parasitoid larva. parasit ini termasuk kedalam serangga endoparasit
larva-pupa yang soliter. Memiliki
ciri-ciri tubuh berwarna hitam, bertubuh kecil dengan panjang sekitar 1.5-2 mm.
Telur
berbentuk memanjang dan meruncing pada kutub kaudal. Stadia telur berlangsung selama 2 hari, masa
stadia larva 5-8 hari, pupa selama 7-11 hari.
Umur imago betina lebih panjang yaitu 10-11 hari dibandingkan jantan 3-4
hari dengan ciri imago jantan memiliki abdomen yang tumpul membulat sedang
abdomen betina meruncing (Deptan, 1994).
Daya parasitasi Tetrastichus sp. terhadap pupa jauh lebih besar
dibandingkan dengan larva. Hal ini disebabkan larva yang aktif bergerak
akan menghalangi Tetrastichus sp.
dalam meletakkan telurnya. Daya
parasitasi Tetrastichus sp. di lapangan terhadap larva-pupa sebesar
60-90%. Pupa yang telah terinfeksi akan
berubah warna menjadi kehitaman (Kartohardjono, 1992).
Sumber:
Borror,
Donald j.,Triplehorn, Charles A dan Johnson, Norman F. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi
ke-6. Universitas Gajah Mada press. Yogyakarta. 1083 hlm.
Burhanudin.
2004. Status dan Program Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. Prosiding Seminar Nasional Status Program
Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional Makasar. Pusat
Peneliatan dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta
Direktorat
Jendral Perkebunan. 2013. Dukungan
Perlindungan Perkebunan. Pedoman Teknis
Penanganan Organisme Pengganggu Tanaman Perkebunan. Direktorat
Jendral Perkebunan. Jakarta
Mahrub,
E. 1987. Pengenalan Musuh Alami Hama
tanaman. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta
Purnomo,
Hadi. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati.
C.V Andi Offset. Yogyakarta
Simanjuntak,
Susanti Oktaviana., Maryani C.T
dan Darma Bakti. 2013.
Daya parasitasi apanteles flavipes cam. (Hymenoptera: Braconidae) pada penggerek
batang tebu bergaris (Chilo sacchariphagus Boj.) (Lepidoptera: Pyralidae) di
laboratorium. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1(2)
No comments:
Post a Comment