bacajuga
Oleh
Vredighrichal
Gurahman
Komoditas jagung memiliki penting dan
strategi dalam pembangunan pertanian secara nasional maupun regional serta
terhadap ketahanan pangan dan perbaikan perekonomian. Tanaman jagung merupakan
komoditas trategis dan bernilai ekonomis serta memiliki peluang untuk
dikembangkan sebab kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat setelah beras
dan protein setelah kedelai. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan
berkembangnya industri pengolahan pangan, maka kebutuhan jagung untuk bahan pangan juga akan semakin
meningkat.
Lampung merupakan salah satu provinsi
penghasil jagung di Indonesia. Menurut BPS (2015), Produksi jagung di Lampung
menempatkan Lampung menjadi penyumbang terbesar ke-3 dari 7 provinsi di luar
Jawa yaitu sebesar 9.26% atau rata-rata produksi sebesar 1.76 juta ton sejak
tahun 2011-2015. Rendahnya produktivitas jagung di Provinsi Lampung dapat
disebabkan karena beberapa faktor yaitu faktor fisik (Iklim, Curah hujan, dan
Tanah) dan faktor biologis (Varietas, Hama, Penyakit, dan Gulma), serta faktor
sosial dan ekonomi.
Akhir-akhir ini Provinsi lampung dikejutkan
dengan adanya serangan besar-besran hama minor yaitu Wereng Perut Putih Stenocranus pasificus Kirkaldy
(Hemiptera : Delphacidae). Hama ini
merupakan jenis wereng yang berbeda dari jenis wereng yang biasanya dijumpai di
pertanaman jagung Indonesia. Hama wereng yang biasa dijumpai pada pertanaman
jagung berasal dari spesies Perigrinus
maidis (Ashmd.). Menurut Kalshoven (1981), Perigrinus maidis (Ashmd.) merupakan hama wereng pada tanaman
jagung. Hama ini memiliki siklus hidup 25 hari, dengan fase telur selama 8 hari
yang diletakkan dibagian bawah helaian daun, kelopak daun, dan di bawah kelopak
bunga jantan yang masih muda. Makroptera memiliki ciri pada bagian ujung sayap
berupa bintik hitam dan garis oker di bagian belakang sayap. Sedangkan
brakiptera memiliki sayap transparan dengan beberapa bintik hitam. Makroptera
dan brakiptera memiliki ciri yang sama berupa pola hitam-putih yang khas di
bagian ventral abdomen.
Sumber: Susilo dkk, 2017
Gambar 1. Fenologi umum serangan wereng pada tanaman
jagung. Deposisi parit cottonywax putih di sepanjang tepi tulang daun
(A) noda pada dasar daun (B) yang menunjukkan lokasi oviposisi, munculnya
koloni wereng (C), dan munculnya gejala hopperburn tanpa (D) atau dengan
jelaga- pertumbuhan jamur (E).
Sedangkan hama wereng yang
teridentifikasi menyebabkan kerugian di Lampung Selatan merupakan jenis wereng
perut putih. Penamaan wereng ini dilakukan oleh tim dosen dari Fakultas Pertanian UNILA dan dosen Fakultas Pertanian UGM,
Klik dosen fakultas pertanian UniversitasLampung
Klik dosen fakultas pertanian Universitas Gajah Mada.
dengan UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung. Hasil identifikasi tersebut menyatakan bahwa serangan wereng yang ada di Lampung Selatan bukan disebabkan oleh spesies Perigrinus maidis (Ashmd.) melainkan oleh Stenocranus pasificus Kirkaldy atau Hama wereng perut putih (Susilo dkk, 2017).
Klik dosen fakultas pertanian UniversitasLampung
Klik dosen fakultas pertanian Universitas Gajah Mada.
dengan UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung. Hasil identifikasi tersebut menyatakan bahwa serangan wereng yang ada di Lampung Selatan bukan disebabkan oleh spesies Perigrinus maidis (Ashmd.) melainkan oleh Stenocranus pasificus Kirkaldy atau Hama wereng perut putih (Susilo dkk, 2017).
Sumber: Susilo dkk, 2017
Gambar 1. Wereng Makroptera yang menyerang tanaman jagung. Tampak Ventral betina (A), tampak lateral betina (B), tampak ventral jantan (C), Tampak lateral jantan (D). betina dengan perut putih (A,B), jantan dengan perut orange (C,D).
Hama ini dilaporkan menyebabkan kerugian besar di pertanaman jagung Lampung Selatan. Serangan hama ini menyebabkan daun menjadi klorosis dan tanaman menjadi kerdil. Besarnya kerugian yang disebabkan karena serangan hama ini dapat mencapai 70%. Selain menyebabkan kerusakan secara langsung, hama ini diidentifikasi merupakan vektor dari penyakit stripes pada tanaman gramineous (Kalshoven, 1981) dan vektor virus MMV (Maize Mosaic Rhabdovirus) (Wakman dan Burhanudin, 2007).
Terdapat beberapa jenis teknik pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami berupa parasitoid, predator, dan patogen. Walaupun memiliki reaksi yang lambat, tetapi pengendalian ini sangat sesuai bagi keberlanjutan ekosistem pertanian.
Selain pengendalian hayati dapat dilakukan pengendalian dengan pestisida nabati. Dilaporkan oleh Prawesti (2017) bahwa ekstrak tanaman kipahit memiliki kandungan terpen, glikosida, alkaloid, flavonoid, dan saponin yang dapat berdampak pada gangguan syaraf pada larva, racun perut, racun kontak, dan menghambat indra perasa pada ulat krop kubis. Sebagai alternatif terakhir, apabila populasi sudah mencapai AE maka dapat dilakukan pengendalian secara kimiawi sintetik dengan menggunakan pestisida berbahan aktif klorpirifos, sipermetrin dan lambda sihalotrin. Penyemprotan sipermetrin pada serangga target akan menunjukkan gejala eksitasi, konvulasi, dan paralisis yang kemudian berujung pada kematian. Sedangkan klorpirifos merupakan insektisida golongan organofosfat yang bersifat racun kontak yang dapat masuk melalui dinding tubuh serangga (Tarumingkeng, 1992 dalam Wicaksono dkk., 2016).
Terdapat beberapa jenis teknik pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami berupa parasitoid, predator, dan patogen. Walaupun memiliki reaksi yang lambat, tetapi pengendalian ini sangat sesuai bagi keberlanjutan ekosistem pertanian.
Selain pengendalian hayati dapat dilakukan pengendalian dengan pestisida nabati. Dilaporkan oleh Prawesti (2017) bahwa ekstrak tanaman kipahit memiliki kandungan terpen, glikosida, alkaloid, flavonoid, dan saponin yang dapat berdampak pada gangguan syaraf pada larva, racun perut, racun kontak, dan menghambat indra perasa pada ulat krop kubis. Sebagai alternatif terakhir, apabila populasi sudah mencapai AE maka dapat dilakukan pengendalian secara kimiawi sintetik dengan menggunakan pestisida berbahan aktif klorpirifos, sipermetrin dan lambda sihalotrin. Penyemprotan sipermetrin pada serangga target akan menunjukkan gejala eksitasi, konvulasi, dan paralisis yang kemudian berujung pada kematian. Sedangkan klorpirifos merupakan insektisida golongan organofosfat yang bersifat racun kontak yang dapat masuk melalui dinding tubuh serangga (Tarumingkeng, 1992 dalam Wicaksono dkk., 2016).
Sumber:
Badan Pusat Statistika (BPS). 2015. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman Pangan (Jagung). Pusat Data dan SItem Informasi Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta
Kalshoven, LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Rev. Transl. Van der laan PA and Rothschild GHL. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta
Prawesti, D.I., Suryadarma, I.G.P., dan Suhartini. 2017. Efektivitas Ekstrak Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Grey) Sebagai Pestisida Nabati Pengendalian Hama Crocidolomia binotalis pada tanaman sawi (Brasicca juncea L.). Jurnal Prodi Biologi. 6(8)
Susilo, F.X., I.G. Swibawa, Indriyati, A.M. Hariri, Purnomo, R. Hasibuan, L. Wibowo, R. Suharjo, Y. Fitriana, S.R. Dirmawati, Solikhin, Sumardiyono, R.A. Rwandini, D.R. Sembodo and Suputa. 2017. The White-Bellied Planthopper (Hemiptera:: Delphacidae) Infesting Corn Plants in South Lampung, Indonesia. J. HPT Tropika. 17(96): 96-103
Tarumingkeng, R.G. 1992. Insektisida. Sifat, Mekanisme Kerja, dan Dampak Penggunaanya. Penerbit Ukhrida. Jakarta
Wakman, W., dan Burhanudin. 2017. Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros
Petani sekarang banyak yang berijazah, lebih pintar dan berilmu. :)
ReplyDelete